
Suatu
 hari menjelang senja di Pantai Ulee Lheue, Banda Aceh. Sebut saja nama 
Ghafur. Ghafur adalah salah seorang Komandan Regu Wilayatul Hisbah (WH) 
Kota Banda Aceh. Hari itu, bersama lima orang rekannya, Ghafur tengah 
melakukan razia khalwat di pantai yang kerap dijadikan muda-mudi untuk 
berbuat maksiat. 
Dari jarak pandang yang relatif jauh. Ghafur melihat sebuah mobil 
mencurigakan. Samar-samar ia melihat dua sejoli yang tengah memadu kasih
 di dalam mobil itu. Untuk menghilangkan rasa penasaran, ia lalu 
mengajak kelima rekannya mendekati mobil itu. Benar saja, di dalam mobil
 tersebut ada yang tengah berkhalwat.
Ghafur lalu mengetuk kaca mobil tersebut. Saat perlahan-lahan kaca 
mobil itu diturunkan, ia tak melihat sedikit pun guratan wajah bersalah 
dari sepasang pelaku mesum itu. Justru Ghafur dibuat kaget. Ia 
diperlihatkan senjata api sejenis revolver oleh lelaki yang berada di 
dalam mobil. 
“Ini (peluru) cukup untuk kalian ber-enam,” kata Ghafur menirukan perkataan lelaki itu.
Karena anggota WH tak dilengkapi senjata, maka Ghafur dan rekannya bergegas menjauhi mobil itu.
Pada fragmen lain, Mahyeddin Husra, warga Aceh, dibuat gusar ketika 
melihat belasan pasangan muda-mudi tengah berkhalwat secara massal di 
pinggiran Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Sabtu (4/6/2011) malam. 
Bahkan ada sepasang pelaku mesum itu terlihat berani saling merangkul 
dan menjamah anggota tubuh.
“Kalau begini, apa bedanya Aceh dengan Jakarta atau kota-kota lain? 
Negeri yang bersyariat kok seperti ini?” kata Mahyeddin kepada Suara 
Hidayatullah dengan suara lirih.
Tak tahan melihat kemungkaran di depan matanya, ia lalu menelepon 
kenalannya yang bertugas sebagai anggota WH. Di ujung telepon sana bukan
 respon baik yang diterima Mahyeddin, malah keluhan sang WH yang 
diterimanya.
“Dia (anggota WH tadi -red) bilang WH sudah payah. Tak sanggup dengan 
kondisi yang terbatas harus menertibkan pelaku maksiat yang semakin 
banyak,” ujar Mahyeddin menirukan suara yang didengarnya di ujung 
telepon. 
Dari dua fragmen di atas terungkap sebuah fakta tentang 
ketidakberdayaan WH mengawal syariat. Akibatnya pelanggaran-pelanggaran 
qanun, seperti berkhalwat, mudah sekali ditemukan di daerah yang 
terkenal dengan sebutan Tanah Rencong itu. 
Selain Pantai Ulee Lheue dan Lapangan Blang Padang, di sejumlah kedai
 kopi di Banda Aceh juga mudah ditemukan muda-mudi yang berkhalwat. 
Berdasarkan pengamatan Suara Hidayatullah, di jalan Soekarno-Hatta 
terdapat kedai-kedai kopi beratap langit tanpa alat penerangan yang 
sering dimanfaatkan untuk berbuat mesum.
Di jembatan Pante Pirak beda lagi. Jembatan yang hanya berjarak 
ratusan meter dari Masjid Raya Baiturrahman itu setiap malam Ahad 
berkumpul para anak baru gede (ABG). Bahkan di jembatan itu pernah 
dijadikan tempat kumpul anak-anak Punk, atau berandalan. 
Ketika Suara Hidayatullah melintas di atas jembatan Pante Pirak, 
terlihat ada beberapa ABG perempuan yang tidak berjilbab. Mereka 
bercengkerama dengan teman-teman lelakinya tanpa jarak. Meski di 
sana-sini terjadi pelanggaran qanun, tetapi tidak terlihat petugas WH 
berpatroli.
Minim Dukungan
Keterbatasan yang dimiliki WH sudah menjadi rahasia umum di kalangan 
masyarakat Aceh. Kekurangan personil hingga pada persoalan minimnya 
anggaran operasional merupakan dinamika yang terjadi dalam pasukan 
pengawal syariat ini. 
Komandan Operasional WH Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 
Teungku Adin mengatakan selama ini WH tidak mendapat dukungan penuh dari
 lembaga legislatif dan eksekutif. “Tidak ada dukungan dari para pihak 
yang membentuk WH.  Termasuk dukungan fasilitas dan dana,” kata Adin 
saat ditemui Suara Hidayatullah di Kantor WH Provinsi NAD, Jalan T Nyak 
Arief Jambo Tape, Banda Aceh.
Adin mengaku, anggota WH sering terlibat bentrokan dengan oknum yang 
mengaku aparat saat melakukan penertiban. Sampai saat ini, kata Adin, 
belum ada anggota polisi ataupun tentara pelanggar qanun yang berhasil 
diproses hingga ke Mahkamah Sar’iyah (MS). Sehingga ada kesan jika qanun
 itu hanya berlaku bagi masyarakat sipil.
Belum Dieksekusi
Menurut data Mahkamah Sar’iyah Provinsi Aceh, kasus judi atau maisir 
menjadi jumlah terbanyak dalam perkara jinayat dari tahun ke tahun. Pada
 tahun 2010 kasus judi yang tercatat dan masuk ke MS sebanyak 102 kasus.
 Sementara urutan kedua dan ketiga adalah kasus khalwat dengan 25 kasus 
dan khamar dengan 8 kasus.
Wakil Ketua MS Provinsi Aceh, Armia Ibrahim, SH, mengungkapkan 
angka-angka kasus di atas tidak semuanya tuntas sampai proses eksekusi. 
Tercatat sejak tahun 2005 sampai Oktober 2010 setidaknya ada 103 kasus 
jinayat yang belum dieksekusi (lihat tabel).
Penyebabnya, kata Armia, karena terdakwa sudah tidak ada di tempat. 
Pelaku tidak dapat ditahan, sehingga dengan leluasa melarikan diri. 
Selama ini pelaku pelanggar qanun tidak bisa ditahan (dipenjara) sampai 
vonis jatuh, karena memang belum ada aturan yang membolehkannya. 
Seharusnya, jelas Armia, Qanun Hukum Acara Jinayat yang saat ini 
tertahan di tangan gubernur segera disahkan. Qanun yang sudah disahkan 
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) akhir 2009 lalu ini mengatur 
dibolehkannya penahanan pelaku.
Penyebab lainnya adalah persoalan teknis. Pihak eksekutor, dalam hal 
ini kejaksaan, masih berpikir sempit terkait tata laksana eksekusi.
“Mereka masih berpikir jika proses eksekusi harus menggunakan 
panggung, menyediakan konsumsi, dan honor untuk tim eksekutor. Malah, 
awal-awal dulu mereka yang menerima hukuman cambuk diberi uang dan kain 
sarung. Hal inilah yang membuat biaya jadi membengkak,” jelas Armia 
kepada Ibnu Syafaat dari Suara Hidayatullah awal Juni lalu di Banda 
Aceh. 
Padahal, lanjut Armia, pelaksanaan eksekusi tidak harus seperti itu. 
Sederhana saja, asal memenuhi Peraturan Gubernur tahun 2005.
Tidak Berwibawa
Tidak bertajinya lembaga yang berperan sebagai ujung tombak penegakan 
syariat Islam, seperti WH dan Kejaksaan membuat banyak kasus-kasus 
pelanggaran qanun tidak ditindak. Kalaupun ditindak, jarang yang sampai 
ke proses eksekusi. Efeknya, kata Armia, wibawa hukum menjadi berkurang.
 “Masyarakat bakal melihatnya seperti main-main. Ini bahkan bisa menjatuhkan penegak hukum karena kurang tegas,” ujar Armia.
Lemahnya lembaga eksekutor qanun ini juga dirasakan Teungku Muslim 
Ibrahim, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. “Sebaik-baiknya
 aturan, kalau tidak ada eksekutor maka percuma saja. Jadi persoalan 
eksekutor inilah yang saat ini masih kurang,” jelas Muslim.
Polisi Syariat
Untuk menuju terciptanya lembaga penegak hukum yang kuat dan berwibawa, 
TAF Haikal, Ketua Dewan Perwakilan Anggota Forum LSM Aceh mengusulkan 
agar Pemerintah Aceh melakukan gebrakan, seperti pembentukan polisi 
syariat.
Menurut Haikal, sebagai provinsi istimewa, Aceh memiliki 
perbedaan-perbedaan yang tidak dimiliki provinsi lain. “Kalau di daerah 
lain MUI (Majelis Ulama Indonesia -red), maka di Aceh disebut MPU. Kalau
 di provinsi lain DPRD, maka di Aceh disebut DPRA. Begitu juga dengan 
polisi. Kalau di daerah lain Polri, maka seharusnya di Aceh itu ada 
polisi syariat,” papar Haikal.
Polisi syariat yang dimaksud Haikal adalah polisi yang menggantikan 
peran Polri. Polisi yang dilengkapi persenjataan seperti halnya Polri.
Sementara, untuk mensiasati belum terbitnya Qanun Hukum Acara 
Jinayat, Kepala Seksi Bimbingan dan Penyuluhan Syariat Islam Dinas 
Syariat Provinsi NAD, Syukri Muhammad Yusuf, menawarkan jalan keluar.
“Karena belum ada aturan yang membolehkan penahanan pelaku, maka jalan 
keluarnya adalah sidang kilat. Cukup sehari. Misalnya pagi tertangkap 
tangan melanggar qanun, siang hadirkan hakim dan jaksa. Kemudian sore 
dieksekusi,” ujar Syukri. * SUARA HIDAYATULLAH, JULI 2011